Tindak Pidana Perdagangan Orang

NTT Darurat TPPO, Kepala BP3MI: Kami Tidak Bisa Bekerja Sendiri

Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Nusa Tenggara Timur (NTT) Suratmi Hamida, menegaskan tingginya

Editor: Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM/TARI RAHMANIAR ISMAIL
Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Nusa Tenggara Timur (NTT) Suratmi Hamida. 

Laporan reporter POS-KUPANG. COM, Tari Rahmaniar Ismail

POS-KUPANG.COM, KUPANG – Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Nusa Tenggara Timur (NTT) Suratmi Hamida, menegaskan tingginya kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di NTT tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang migrasi masyarakat setempat, khususnya ke Malaysia.

Menurut Suratmi Hamida, pola migrasi keluarga yang berlangsung sejak 1930-an membuat praktik penempatan non-prosedural semakin sulit diungkap secara hukum.

“Secara kasus memang banyak TPPO di NTT. Sebagian besar korban pekerja migran kita berangkat tidak sesuai prosedur. Karena non-prosedural, itu identik dengan perdagangan orang,” ujar Suratmi saat diwawancarai POS-KUPANG. COM, Selasa (2/9). 

Ia menjelaskan, BP3MI sebagai KP2NI bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. 

 

Baca juga: Pemprov NTT Bawa Usulan Mahasiswa ke Pemerintah Pusat Terkait Revisi Tunjangan Dewan

 

 

Sedangkan penanganan TPPO berada di bawah UU Nomor 21 Tahun 2007. Karena itu, setiap korban yang teridentifikasi TPPO langsung dilimpahkan ke Polda NTT untuk penanganan lebih lanjut.

“Urusan hukum bukan kewenangan kami. Peran kami lebih banyak pada pencegahan melalui edukasi. Kami gandeng pemerintah daerah, gereja, dan NGO untuk mengedukasi masyarakat agar migrasi lebih aman,” ujarnya. 

Suratmi menekankan, faktor budaya dan adat istiadat sangat berpengaruh. Mayoritas PMI asal NTT berasal dari Pulau Timor dan Sumba dan didominasi umat Katolik dan Kristen.Karena itu, BP3MI memperkuat kolaborasi dengan keuskupan, sinode gereja, dan lembaga adat. 

“Dengan 3.000 lebih desa, 610 pulau, 15 bandara, dan 14 pelabuhan, kami tidak bisa kerja sendiri. Gereja punya peran besar karena bisa menjangkau umat langsung. Kami ingin isu migrasi aman ini masuk ke mimbar gereja agar umat teredukasi,” ungkapnya.

Menurutnya, dorongan warga NTT untuk keluar negeri sangat kuat, dipicu kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja, faktor iklim, hingga kebutuhan adat. Pola migrasi keluarga juga membuat penanganan hukum terhadap TPPO kerap buntu.

“Banyak kasus sulit dibawa ke ranah hukum karena yang memberangkatkan justru keluarga dekat sendiri. Tidak ada unsur paksaan. Jadi, korban tahu persis bahwa yang membawa mereka itu om, kakak, atau sepupunya,” ungkapnya.

 

Baca juga: Marc Guiu Kembali ke Chelsea Setelah Masa Pinjaman Singkat di Sunderland

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved