Berita NTT

Tuntutan Aliansi Rakyat Menggugat: Hentikan Privatisasi dan Perampasan Tanah Rakyat

Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Komisi Yudisial (KY) Kota Kupang

Editor: Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM/ONONG BORO
AKSI-Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat (ALARAM) menggelar aksi damai menuntut pembebasan tanpa syarat terhadap pejuang lingkungan asal Rote Ndao, Erasmus Frans Mandato. Aksi tersebut berlangsung di kawasan lampu merah El Tari, tepat di depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (7/11/2025). 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Yuan Lulan

POS-KUPANG.COM, KUPANG – Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Komisi Yudisial (KY) Kota Kupang, Jumat (7/11/2025).

Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap praktik privatisasi, perampasan tanah, dan kebijakan pemerintah yang dinilai lebih berpihak pada kepentingan investor ketimbang kesejahteraan rakyat.

Dalam aksi tersebut, massa membentangkan berbagai spanduk dan poster tuntutan. Mereka juga menyerahkan siaran pers resmi kepada Pos Kupang, yang berisi kronologi kasus serta 12 poin tuntutan kepada pemerintah pusat maupun daerah.

Baca juga: Pemda Manggarai Barat Capai Target Eliminasi Kusta, Tapi Kasus Masih Ada


Latar Belakang: Akses ke Pantai Bo’a Diprivatisasi

Aliansi menyoroti kasus privatisasi Pantai Bo’a di Kabupaten Rote Ndao, yang disebut telah melanggar kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah sejak akhir 1990-an.

Menurut siaran pers, akses jalan menuju pantai tersebut awalnya dibuka melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada 1997 dan PNPM Mandiri Perdesaan pada 2013, dengan swadaya masyarakat serta persetujuan para pemilik lahan.

Namun, pada 12 September 2024, pihak PT. Bo’a Development bersama Nihi Rote disebut melakukan pemblokiran jalan secara sepihak dan melarang masyarakat, nelayan, serta peselancar untuk mengakses pantai. Gerbang portal dan pos penjagaan pun dipasang, dengan tulisan “Tanah Pribadi, Dilarang Masuk”.

“Akibatnya, masyarakat lokal dan turis asing tidak bisa lagi menikmati pantai Bo’a. Bahkan, event nasional selancar tahun 2028 dibatalkan karena akses ditutup,” tulis Aliansi dalam rilisnya.

Selain memprotes privatisasi pantai, Aliansi juga menuding perusahaan melakukan penebangan hutan mangrove ilegal, pembuangan limbah ke laut, serta politik adu domba antarwarga.


Sorotan Lain: Energi Panas Bumi, Hutan Produksi, dan Kemiskinan

Dalam pernyataannya, Aliansi juga menyoroti berbagai bentuk “perampasan sumber daya alam” di wilayah lain NTT, termasuk di Pulau Flores dan Pulau Timor.

Menurut mereka, proyek panas bumi di Ulumbu, Mataloko, Pocoleok, hingga Atadei—yang diklaim sebagai proyek energi bersih—justru membawa penderitaan bagi masyarakat sekitar akibat kerusakan lahan dan turunnya hasil pertanian.

Aliansi juga memprotes SK Menteri KLHK No. 357 tentang penetapan Hutan Laob Tumbes di Pulau Timor sebagai kawasan hutan produksi tetap, yang disebut mengabaikan hak masyarakat adat.

Mereka menilai, berbagai kebijakan tersebut memperburuk kondisi rakyat di tengah tingginya angka kemiskinan di NTT yang mencapai 19,02 persen atau sekitar 1,1 juta jiwa per September 2024 (data BPS).


12 Tuntutan Aliansi Rakyat Menggugat


Melalui aksi tersebut, Aliansi menyampaikan 12 tuntutan resmi sebagai berikut:


1. Segera buka akses jalan yang diprivatisasi oleh PT. Bo’a Development.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved