Berita Sabu Raijua
Mengunjungi Sabu Liae, Pusat Pandhe Besi di Pulau Sabu NTT
Dari dataran tinggi sudah tampak bukit tandus kecoklatan. Sangat berbeda dengan wilayah Pulau Sabu lainnya.
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Asti Dhema
TRIBUNFLORES.COM, SEBA - Untuk mencapai Sabu Liae, dari Ibukota Kabupaten Sabu Raijua membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit mengendarai motor ke arah Selatan Pulau Sabu.
Dari dataran tinggi sudah tampak bukit tandus kecoklatan. Sangat berbeda dengan wilayah Pulau Sabu lainnya.
Minim mata air, dan persawahan sehingga tidak tampak kegiatan pertanian di sana. Syukur kalau masih tampak kubangan kecil bagi hewan ternak yang dilepas bebas. Tentu, di sana masih ada kehidupan.
Masuk wilayah permukiman, bunyi pukulan dan suara mesin terdengar dari sebuah rumah daun khas masyarakat di Pulau Sabu. Tampak di sana tiga orang pria, tungku api dan sekumpulan besi per mobil.
Baca juga: Modus Loker, Korban Oknum ASN Kantor Pertanahan Sabu Raijua Rugi Puluhan Juta Rupiah
Seorang pria paruh baya duduk seperti berdiang di tungku api menunggu Bakaran besi yang terbenam dalam abu perapian. Api besar panas cukup membuat batang-batang besi ini merah menyala.
Sambil menyeka keringat menahan panasnya bara api, pria paruh baya ini mengambil jepitan kemudian menjepit salah satu lembaran besi dan mengangkatnya. Besi yang sedikit menyerupai parang ini merah menyala. Rupanya sudah dibakar dan ditempa berkali-kali untuk menghasilkan patang sempurna.
Dua pria lainnya bersiap dengan palu masing-masing siap untuk menempa besi panas itu. suara pukulan sekuat tenaga tiga pria ini, sedikit demi sedikit mampu membentuk besi panas ini menjadi sebuah parang. Kurang lebih 10 menit usai penempaan ini, besi tersebut dibenamkan kembali ke dalam bara api.
Cara ini dilakoni mereka berulang kali dan bergantian untuk membuat pisau, parang, kapak, dan sabit. Terik panas siang itu tak menghentikan semangat pejuang kehidupan di Desa Mehona, Kecamatan Sabu Liae, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sabu Liae memiliki karakteristik yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan wilayah lain di Sabu Raijua. Masuk Sabu Liae, tidak tampak lagi sawah yang membentang luas seperti di ibukota Kabupaten Sabu Raijua. Hanya dataran tinggi yang tandus kecoklatan dengan angin yang kencang. Pemandangan dari sana juga tak kalah menakjubkan berhadapan langsung dengan laut Sawu.
Musim hujan menjadi berkat bagi masyarakat Sabu Liae, bagaimana tidak, saat musim inilah mereka akan bercocok tanam. Sedangkan ketika musim kemarau melanda mereka kesulitan air dan kondisi benar-benar kering sehingga tidak bisa bertani. Bahkan untuk kebutuhan air bersih setiap hari saja mereka harus membeli air hingga Rp250 ribu per tangki yang dibawa dari ibukota kabupaten Sabu Raijua.
Meski kering tetapi mereka harus tetap bertahan hidup di tanah nenek moyang mereka. Kondisi ini membuat orang Sabu Liae menjadi pusat pandhe besi (tukang besi) di Sabu Raijua dan merupakan matapencaharian utama masyarakat di Sabu Liae.
Yosep Antonius Kana, sejak 2015 menjadi pandhe besi saat masih duduk di bangku kuliah di Kupang. Mengambil kuliah jurusan Bahasa Indonesia tidak membuatnya enggan untuk belajar menempa besi. Sepertinya tidak membutuhkan keahlian khusus, hanya dengan melihat dan belajar otodidak sejak muda membuatnya mahir menjadi pandhe besi hingga saat ini.
"Ini matapencaharian untuk di desa kami, desa Mehona. Dulu belajar di Kupang dengan bapak kecil,"ungkap Toni saat ditemui di rumah daun di Desa Mehona pada Selasa, 25 Juni 2024.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.