Berita Manggarai

Polisi Bantah Ada Penangkapan Wartawan, Herry Kabut Mengaku Ditangkap dan Baru Dibebaskan Sore Hari

Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh menipis informasi terkait penangkapan Herry Kabut, wartawan juga pimpinan Redaksi Floresa saat melakukan peliputan

Penulis: Robert Ropo | Editor: Ricko Wawo
TRIBUNFLORES.COM/TANGKAPAN LAYAR
Sejumlah elemen masyarakat mengecam keras aksi bentrok antara masyarakat dan aparat keamanan yang terjadi di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, pada Rabu, 2 Oktober 2024. 

Ia juga berkata, “saya sudah memantau kau punya pergerakan selama ini.”

Usai berkali-kali memukul saya, mereka lalu memasukkan saya ke dalam sebuah mobil polisi dan mengunci pintunya. 

Para aparat itu berkata, “kamu diamankan, bukan ditahan atau ditangkap.”

Salah satu polisi yang melintas di luar mobil itu berkata, “kalau kamu menulis ‘berita yang lain,’ kami akan pantau.”

Di dalam mobil itu, terdapat seorang polisi yang mengenakan seragam. Dia terus-terusan meminta ID card seraya memotong penjelasan saya.

Beberapa saat kemudian polisi itu keluar dari mobil dan seorang polisi lain yang tidak mengenakan seragam masuk ke mobil untuk menemani saya.

Beberapa saat kemudian, seorang polisi yang mengunci leher dan menyita ponsel saya masuk ke dalam mobil itu. Dia menaruh tas yang sebelumnya mereka sita itu ke samping saya sebelum menyuruh membuka ponsel saya yang dipegang olehnya. Dia meminta saya memasukkan kata sandi pada ponsel yang masih dipegangnya.

Dia membaca dan memeriksa beberapa pesan WhatsApp saya. Dia mengakses pesan itu baik privat maupun grup. Dia juga memeriksa foto profil WhatsApp dari beberapa teman saya. 


Dia juga menanyakan identitas beberapa teman dan warga yang mengirimkan pesan dan foto ke ponsel saya. 


Dia juga membaca dan memeriksa pesan dari dua jurnalis yang menanyakan posisi dan keadaan saya.

Dia menyuruh saya membalas pesan dari salah satu jurnalis itu berdasarkan rumusan jawaban yang disusunnya. 

Dia berkata, “jawab saja kalau kamu aman dan kamu diamankan karena tidak membawa kartu identitas.”

Dia juga menyuruh saya menjawab pesan itu dengan mengatakan, “saya lagi ganda [ngobrol] dengan polisi. Sebentar saya pulang.” 

Saya membalas pesan itu dalam keadaan ponsel saya masih dipegang polisi itu. Dia hanya menyuruh saya mengetik jawaban.

Dia juga memeriksa beberapa foto di dalam ponsel saya. Dia menanyakan identitas beberapa orang yang di dalam foto itu serta menanyakan tempat foto itu diambil. 

Dia juga memeriksa beberapa foto yang menampilkan tiket perjalanan saya ke Jakarta. Dia juga menanyakan tujuan saya pergi ke Jakarta. 

Setelah memeriksa dan membaca pesan saya, polisi itu keluar dari mobil. Saat itu ada seorang polisi lain yang menghampiri pintu mobil dan memanggil polisi yang mengunci leher saya dengan sebutan “BV.” Setelah itu, BV keluar dari mobil. Beberapa saat kemudian, BV kembali masuk ke mobil itu dan kembali menanyakan kartu pers saya. 

Saya sekali lagi menjawab, “saya memang tidak membawa kartu pers, tetapi saya bisa menunjukkan surat tugas saya serta membuktikan kalau saya benar-benar merupakan pemimpin redaksi Floresa.”

Saya meminta izin kepadanya untuk memeriksa berkas surat tugas saya di ponsel. Lantaran berkas surat tugas itu telah dipindahkan ke dalam laptop, saya lalu meminta izin membuka laptop seraya meminta dia membuka web Floresa via ponsel untuk memeriksa dan memastikan status saya sebagai jurnalis sekaligus pemimpin redaksi Floresa. 

Saya menunjukkan kepada salah satu polisi berinisial R, yang juga berada di mobil itu terkait berkas surat tugas saya yang disimpan di laptop. Dia mengecek sembari berkata, “surat tugas ini hanya berlaku selama tiga bulan setelah diterbitkan pada September tahun lalu.”

Saya menjawab, “ini surat tugas yang diterbitkan pemimpin redaksi Floresa periode sebelumnya saat saya berstatus sebagai kontributor. Setelah masa berlakunya habis, saya tidak mempunyai surat tugas baru karena saya dipercayakan menjadi pemimpin redaksi Floresa.”

Karena menjadi pemimpin redaksi, saya mempunyai kewenangan untuk membuat surat tugas bagi jurnalis Floresa yang lain.”

Untuk meyakinkan R, saya menunjukkan surat tugas yang saya berikan kepada jurnalis Floresa yang lain. Di dalam surat itu, terdapat tanda tangan saya sebagai pemimpin redaksi.

R memeriksa dan membuka beberapa berkas di dalamnya termasuk foto dan rekaman wawancara saya dengan narasumber. 

Setelah melihat foto dan mendengar rekaman wawancara saya, R berkata, “kraeng [Anda] kerja macam intel.” 

Merespons hal itu, saya berkata, “saya jurnalis, bukan intel.”

R berkata, “saya akui kraeng seorang penulis karena kraeng sangat hati-hati memilih kata.”

Saya menduga R sebetulnya tahu bahwa saya merupakan jurnalis Floresa karena ia berkata, “saya tahu beberapa tulisan kraeng tentang proyek geotermal.”

Dia juga bertanya, “apa saja yang kraeng tulis tentang proyek geotermal di Poco Leok?” 

Saya menjawab, “salah satu tulisan saya adalah wawancara khusus dengan seorang mama dari Poco Leok. Ite [Anda] bisa cek di web Floresa.” 

Saya juga meminta BV, yang masih memegang ponsel saya untuk membuka web Floresa.

Dia menuruti permintaan itu dan menemukan bahwa “kraeng benar-benar merupakan pemimpin redaksi Floresa.”

Mendapati informasi itu, dia lalu membuat tangkapan layar atas identitas dan status saya yang tertera di web Floresa.


Setelah itu, R berkata, “kalau dari tadi dapat penjelasan seperti ini, kraeng tidak akan ditahan. Ternyata kraeng memang pemimpin redaksi Floresa.”

“Kami akan kena nanti kalau kraeng beri klarifikasi di Polres,” katanya, tanpa menjelaskan maksud pernyataan itu.

Merespons pernyataan itu, saya berkata, “saya dari tadi berusaha menjelaskan hal ini, tetapi kalian terus memotong pembicaraan saya. Kalian justru memukul saya.”

Mendengar hal itu, BV menyebut akan “berkoordinasi dengan polisi lain,” sebelum ia keluar dari mobil. 

Beberapa saat kemudian, dia kembali mendatangi saya menawarkan dua langkah untuk melepaskan saya. 

Dia berkata, “sebentar tiga orang warga yang diamankan akan dilepaskan. Mereka akan membuat video klarifikasi dan permohonan maaf karena merusak mobil polisi. Apakah kraeng juga mau seperti itu? Ataukah kraeng mau klarifikasi di Polres?”

Merespons pertanyaan itu, saya berkata, “saya pikir-pikir dulu.” 

Mendengar jawaban itu, BV kembali berkata “akan berkoordinasi lagi dengan polisi lain.”

Ia lalu keluar lagi dari mobil. 

Beberapa saat kemudian, BV kembali masuk ke mobil dan menawarkan hal yang sama.

Dengan mempertimbangkan segala konsekuensi, saya pun memilih untuk langsung memberikan klarifikasi di lokasi itu.

BV berkata, “nanti kami akan rekam klasifikasinya kraeng. Nanti omong saja kalau kraeng diamankan karena tidak membawa kartu identitas. Terus nanti kraeng juga omong kalau kraeng sudah dilepaskan dalam keadaan selamat.”

Saya pun menyetujui permintaan itu, lalu BV mengizinkan saya keluar dari mobil dan memberikan tas saya, sementara ponsel saya masih disita.

Saya memberi klarifikasi di belakang mobil itu dan direkam oleh dua orang polisi, yang salah satunya sempat menyebut dirinya “anak media.”

Dalam klarifikasi itu, saya sempat mengatakan “saya ditahan karena tidak membawa kartu identitas.” 

Setelah mengatakan itu, mereka mengatakan “jangan pakai ditahan, tapi diamankan.”

Mereka juga mengarahkan saya untuk mengatakan “setelah melakukan klarifikasi dengan polisi, saya dilepaskan dalam keadaan selamat.”

Namun, pada akhirnya saya hanya mengatakan, “setelah melakukan klarifikasi dengan polisi, saya dilepaskan.”

Saya tidak mungkin mengatakan, “dilepaskan dengan selamat” karena sebelumnya saya dipukuli aparat dan wartawan. 

Setelah itu, mereka mengizinkan saya pulang. Saya langsung jalan ke arah barat sebelum teringat ponsel saya yang masih mereka sita. Menyadari hal itu, saya berbalik hendak menemui BV yang sedari tadi memegang ponsel saya. Dalam perjalanan, R yang sedang berada dalam sebuah mobil, lalu memanggil saya dan berkata, “mau ke mana?”

Saya lalu menjawab, “ponsel saya masih belum diberikan.”

Merespons jawaban saya, R turun dari mobil dan menemani saya meminta ponsel kepada BV. R yang kemudian memintanya untuk mengembalikan ponsel saya. 

Mengingat kembali peristiwa hari itu, nyaris empat jam saya menghadapi beragam tindakan polisi, mulai dari penangkapan, penganiayaan, perampasan barang-barang pribadi hingga diminta memberikan klarifikasi – yang sebagian besar memberikan tekanan bagi saya. 

Hari ini, saya masih hidup. Di tengah-tengah kemarahan terhadap perlakuan polisi, saya merasa terharu atas kepedulian banyak orang terhadap hidup saya. Terima kasih untuk itu semua. 

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved