Flores Bicara

Akademisi STIPER FB: Mencegah ASF dari Hulu ke Hilir melalui Penguatan Kandang, Pakan dan Sanitasi

Menurut dia, lonjakan kasus pada 2021–2022 terjadi karena minimnya pemahaman peternak mengenai karakter

|
Penulis: Cristin Adal | Editor: Nofri Fuka
TRIBUNFLORES.COM / HO-YT TRIBUN FLORES
Dosen Program Studi Peternakan Sekolah Tinggi Pertanian Flores Bajawa (STIPER FB), David Januarius Djawapatty hadir dalam Talkshow Flores Bicara dipandu oleh Host Kristin Adal. 

TRIBUNFLORES.COM, BAJAWA - African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika pertama kali terdeteksi di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Februari 2020 di Kupang, Pulau Timor, sebelum menyebar ke wilayah lain, termasuk Flores, pada 2021. 

Dosen Program Studi Peternakan Sekolah Tinggi Pertanian Flores Bajawa (STIPER FB), David Januarius Djawapatty, menegaskan bahwa penyakit ini telah menimbulkan dampak besar bagi masyarakat.

“Virus ASF pertama kali ditemukan di Kupang pada Februari 2020 dan kemudian menyebar luas ke seluruh NTT pada 2021,” ujar David dalam talkshow Flores Bicara bertema “Mencegah ASF pada Babi dari Hulu ke Hilir: Kandang, Pakan, Sanitasi” yang digelar secara virtual, Rabu (19/11/2025).

Menurut dia, lonjakan kasus pada 2021–2022 terjadi karena minimnya pemahaman peternak mengenai karakter virus dan langkah penanganan. “Sebagian besar masyarakat tidak tahu harus berbuat apa ketika ASF muncul karena penyakit ini tergolong baru,” katanya.

 

Baca juga: STIPER Flores Bajawa Kukuhkan 42 Lulusan Baru dalam Yudisium Tahun Akademik 2024/2025

 

 

Ia menambahkan, “Tingkat kematian bisa mencapai 100 persen. Sampai sekarang belum ada vaksin atau obat, jadi satu-satunya cara adalah mencegah.”

David menegaskan, ASF tidak menular ke manusia. “ASF bukan zoonosis. Penyakit ini hanya menyerang babi,” tuturnya.

Faktor Penyebaran

David menyebut sejumlah penyebab utama cepatnya penyebaran ASF di NTT. “Pergerakan babi hidup tanpa kontrol menjadi salah satu faktor utama,” ujarnya. Selain itu, produk olahan yang terkontaminasi, alat dan bahan pakan yang tidak higienis, serta perpindahan manusia ikut memperluas penularan.

Ia juga menyoroti pola pemeliharaan tradisional. “Banyak kandang terbuka, sanitasi minim, dan biosekuriti tidak diterapkan, sehingga memudahkan lalat atau orang luar membawa virus,” ujarnya. Penggunaan pakan limbah yang tidak dimasak dengan benar juga disebut memperbesar risiko.

Gejala ASF pada Ternak

David menjelaskan sejumlah gejala yang dapat dikenali peternak. “Babi yang terinfeksi biasanya demam tinggi, lemah, tidak mau makan, dan muncul bercak merah pada kulit, terutama moncong, telinga, dan kaki,” katanya. Ia menambahkan, pendarahan pada hidung, anus, atau titik merah pada kulit juga dapat terlihat.

Penguatan Biosekuriti

David menegaskan pentingnya penguatan langkah pencegahan mulai dari kandang hingga distribusi ternak.

“Biosekuriti tidak harus mahal. Yang penting teratur dan disiplin,” ujarnya.

Manajemen Kandang

Ia menyebut penerapan zona kandang sebagai langkah sederhana yang efektif.

“Kandang bisa dibagi menjadi zona hijau, kuning, dan merah. Ini membantu mengendalikan siapa yang masuk ke area kandang,” katanya.

David juga menekankan perlunya pembatasan akses fisik. “Pagar sederhana dari jaring atau bahan bekas sudah sangat membantu mencegah orang atau hewan luar masuk,” ujarnya.

Kebersihan kandang juga menjadi faktor penting. “Lalat adalah pembawa penyakit. Karena itu kandang harus rutin dibersihkan dan limbah kotoran harus dikelola baik,” katanya.

Pengelolaan Pakan

David mengingatkan peternak agar berhati-hati terhadap pakan limbah. “Sisa makanan harus dimasak hingga mendidih untuk membunuh virus sebelum diberikan ke babi,” tegasnya.

Ia juga mengimbau agar pakan disimpan dengan aman. “Simpan pakan di tempat khusus yang tertutup dan tidak mudah terkontaminasi,” ujarnya.

Kolaborasi Pemerintah dan Akademisi

Perguruan tinggi dinilai memiliki peran strategis dalam edukasi publik.

“Kami menjalankan tridharma perguruan tinggi melalui pelatihan sanitasi kandang, edukasi pencegahan ASF, hingga pendampingan pakan fermentasi organik,” kata David. Menurut dia, program tersebut telah menunjukkan dampak positif di Ngada dan Flores.

Ia juga mendorong pemerintah daerah memperketat pengawasan. “Pos perbatasan antarwilayah harus diaktifkan kembali seperti masa pandemi Covid-19 untuk mengendalikan lalu lintas ternak babi,” ujarnya.

David juga meminta desa membuat aturan tertulis. “Peraturan desa bisa menjadi instrumen untuk menertibkan pergerakan ternak, termasuk sanksinya,” katanya.

Kesadaran Bersama

Di akhir paparan, David menekankan pentingnya perubahan pola pikir peternak.

“Kalau hanya satu peternak lalai, dampaknya bisa menjalar ke ribuan babi lainnya,” ujarnya.

Ia menegaskan, “Tanpa kesadaran bersama dari masyarakat, akademisi, dan pemerintah, ASF sangat sulit dikendalikan.”

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved