Petani Kopi di Ngada

Frans Lewa Petani Beiposo Ngada NTT Terus Bertahan di Tengah Turunnya Produktivitas Kopi

“Meskipun umur sudah lanjut, saya tetap rawat kopi. Saya jaga supaya tidak terlalu tinggi, biar mudah dipetik,” ujarnya kepada TRIBUNFLORES.COM

Penulis: Charles Abar | Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/CHARLES ABAR
PETANI-Maria, petani Kopi di Bajawa saat musim panen, Bulan Juli 2025. 

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Charles Abar

TRIBUNFLORES.COM, BAJAWA – Kabut tipis turun di lereng perbukitan Beiposo, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, NTT. 

Di sela-sela kebun kopi yang hijau, Frans Lewa tampak tekun memangkas ranting tua pohon kopinya. Di usia 65 tahun, lelaki ini masih setia menjaga tanaman yang sudah menjadi denyut hidup masyarakat Bajawa selama puluhan tahun.

“Meskipun umur sudah lanjut, saya tetap rawat kopi. Saya jaga supaya tidak terlalu tinggi, biar mudah dipetik,” ujarnya kepada TRIBUNFLORES.COM, Kamis (30/10/2025).

Beiposo dikenal sebagai salah satu lumbung kopi Arabika Flores Bajawa. Di wilayah ini, hampir setiap rumah memiliki kebun kopi. Jenis kopi yang dibudidayakan sebagian besar adalah Arabika S795, varietas unggulan yang dikenal dengan cita rasa lembut dan aroma khas. Namun, sebagian besar tanaman di desa ini kini telah berumur antara 10 hingga 15 tahun, usia yang mulai menurun produktivitasnya.

Hujan Tinggi, Biji Kopi Gugur Sebelum Panen

Dalam lima tahun terakhir, Frans dan petani lain di Beiposo merasakan penurunan hasil panen yang cukup nyata. Ia menyebut curah hujan tinggi menjadi penyebab utama.

 

 

 

Baca juga: Di Tengah Harum Kopi Bajawa, Terselip Kekhawatiran akan Masa Depannya

 

 

 

 

 

 

 

“Banyak biji gugur sebelum matang. Kalau musim hujan panjang, bunganya cepat rontok,” katanya.

Tahun lalu, dari hasil panen hanya terkumpul sekitar 400 kilogram green bean, namun tahun ini ada sedikit peningkatan hingga 800 kilogram gelondongan. Angka itu tetap jauh di bawah potensi normal yang seharusnya bisa mencapai lebih dari satu ton per hektare.

“Sekarang sudah mulai naik sedikit, semoga terus membaik,” tutur Frans, matanya menatap hamparan kopi yang mulai berbuah.

Ahli: Dampak Iklim dan Usia Tanaman Harus Diantisipasi

Menurut Dosen STIPER Flores Bajawa, David Januarius Djawapatty, S.Pt., M.Si, perubahan iklim menjadi salah satu faktor utama penurunan produktivitas kopi di Ngada, termasuk di Beiposo.

“Kondisi suhu yang meningkat dan curah hujan tinggi sangat memengaruhi masa pembungaan dan pembuahan kopi. Banyak bunga gagal menjadi buah,” jelasnya.

David menambahkan, mayoritas tanaman kopi Arabika di Ngada kini sudah melewati masa produktif ideal. Umur tanaman yang mencapai 10–15 tahun menyebabkan daya hasil menurun, meski masih bisa bertahan jika perawatan dilakukan dengan baik.

“Peremajaan tanaman menjadi kebutuhan mendesak. Petani perlu menanam kembali dengan varietas unggul yang tahan terhadap perubahan iklim,” ujarnya.

Ia juga menilai penting adanya pendampingan teknis dan pelatihan adaptasi iklim bagi petani.

“Petani perlu diperkuat kapasitasnya, terutama dalam sistem pemangkasan, pengendalian hama, serta teknik naungan tanaman untuk menjaga suhu mikro,” kata David.

Pemerintah Dorong Program Peremajaan

Sementara itu, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Ngada, Maria Soge, yang dihubungi terpisah, mengakui bahwa penurunan produktivitas kopi memang menjadi perhatian serius pemerintah daerah.

“Tahun ini kami menjalankan program peremajaan tanaman kopi di beberapa desa, termasuk Beiposo. Ada bantuan bibit baru dan pendampingan teknis dari penyuluh,” ungkapnya.

Maria menjelaskan, pola tanam campur dengan tanaman sela seperti jahe, yang banyak dilakukan petani Beiposo, merupakan strategi positif untuk menjaga ekonomi rumah tangga.

“Jahe bisa menjadi sumber pendapatan tambahan saat kopi belum panen. Itu langkah adaptif yang kami dorong,” ujarnya.

Kopi dan Jahe: Simbol Ketekunan Petani Beiposo

Meski menghadapi banyak tantangan, petani Beiposo tidak menyerah. Mereka memilih tetap setia pada kopi, diselingi dengan tanaman jahe yang tumbuh baik di tanah vulkanik Bajawa.

“Di sini belum ada yang beralih ke hortikultura. Kami masih fokus di kopi dan jahe. Jahe juga cukup membantu,” kata Frans.

Bagi mereka, kopi bukan sekadar tanaman komoditas, melainkan warisan yang menyatu dengan kehidupan. Setiap cangkir kopi Bajawa yang harum di kafe-kafe kota besar adalah hasil kerja keras tangan-tangan tua yang bertahan di lereng-lereng dingin Ngada.

“Kalau kopi ini ditebang semua, sama saja dengan membuang perjuangan dari dulu. Kami harus mulai lagi dari nol,” ujar Frans pelan, seolah berbicara pada pohon-pohon kopinya sendiri.(Cha).

Berita TRIBUNFLORES.COM lainnya di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved