Opini

Ketika Cinta Pertama Pergi: Menyulam Harapan dari Luka Kehilangan

Ketika sosok tersebut meninggal, kehilangan yang dirasakan bukan hanya bersifat emosional, tetapi juga eksistensial

Editor: Nofri Fuka
TRIBUNFLORES.COM/Nurhajah Wahyu
Nurhajah Wahyu Tri Utami, Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. 

Oleh: Nurhajah Wahyu Tri Utami, Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Cinta pertama tidak selalu berasal dari hubungan romantis di masa remaja. 

Bagi sebagian individu, cinta pertama justru hadir melalui sosok ayah, figur yang sejak awal kehidupan memberikan rasa aman, keteguhan, dan kasih sayang tanpa syarat. Ayah menjadi tempat berpulang saat dunia terasa asing. Ia adalah suara yang menenangkan, pelukan yang menguatkan, dan tatapan yang meyakinkan bahwa kita cukup, bahkan ketika kita meragukan diri sendiri.

Ketika sosok tersebut meninggal, kehilangan yang dirasakan bukan hanya bersifat emosional, tetapi juga eksistensial. Dunia seolah kehilangan nadanya. Tidak ada lagi pelukan yang menenangkan, tidak ada lagi tawa yang menguatkan. 

Yang tersisa hanyalah ruang kosong yang sulit diisi, dan pertanyaan yang menggantung “Bagaimana melanjutkan hidup tanpa dia?” Kehilangan seperti ini dapat mengguncang batin seseorang. Namun, dalam psikologi, terdapat konsep yang menjelaskan bahwa dari pengalaman traumatis, individu dapat mengalami pertumbuhan. 

 

Baca juga: Petani Binaan PLN di Kawasan Manifes PLTP Mataloko Panen Sayur Organik

 

 

Konsep tersebut dikenal sebagai Post-Traumatic Growth (PTG), yang diperkenalkan oleh Tedeschi dan Calhoun (1996). PTG bukan sekadar proses pemulihan, tetapi merupakan transformasi psikologis yang memungkinkan individu menjadi lebih kuat, lebih sadar, dan lebih bermakna setelah mengalami trauma.

Post-Traumatic Growth (PTG) menunjukkan bahwa luka tidak selalu berakhir dengan kehancuran. Sebaliknya, luka dapat menjadi titik awal bagi pembentukan makna baru dalam hidup. Dalam konteks kehilangan cinta pertama, Post-Traumatic Growth (PTG) membantu individu memahami bahwa meskipun sosok yang dicintai telah tiada, nilai-nilai dan kenangan yang ditinggalkan tetap hidup dan dapat menjadi sumber kekuatan. 

Melalui proses refleksi, dukungan sosial, dan keterbukaan terhadap pengalaman batin, individu dapat membentuk narasi baru tentang dirinya. Ia bukan lagi sekadar korban dari peristiwa traumatis, tetapi penyintas yang bertumbuh. Cinta pertama yang telah pergi tidak benar-benar hilang; ia berubah menjadi cahaya yang membimbing langkah-langkah baru, menjadi warisan nilai yang hidup dalam tindakan, dan menjadi bagian dari identitas yang lebih matang.

Trauma yang Menumbuhkan

Kehilangan cinta pertama bukan sekadar peristiwa emosional. Sosok ayah, bagi banyak individu, bukan hanya figur keluarga, tetapi juga simbol perlindungan, nilai, dan arah hidup. 

Ketika ia tiada, yang hilang bukan hanya kehadirannya secara fisik, tetapi juga rasa aman, makna, dan bagian dari diri yang selama ini melekat padanya. Dalam kesunyian Individu mulai bertanya tentang siapa dirinya tanpa sosok yang selama ini menuntun nya. Duka menjadi guru yang diam-diam mengajarkan bahwa hidup tidak selalu utuh, namun tetap bisa bermakna. 

Dari titik inilah, proses pertumbuhan psikologis dapat dimulai. Menurut Richard Tedeschi dan Lawrence Calhoun (1996), Post-Traumatic Growth (PTG) adalah proses di mana seseorang tidak hanya pulih dari trauma, tetapi justru mengalami pertumbuhan yang signifikan setelahnya. 

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved