Opini

Ketika Cinta Pertama Pergi: Menyulam Harapan dari Luka Kehilangan

Ketika sosok tersebut meninggal, kehilangan yang dirasakan bukan hanya bersifat emosional, tetapi juga eksistensial

Editor: Nofri Fuka
TRIBUNFLORES.COM/Nurhajah Wahyu
Nurhajah Wahyu Tri Utami, Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. 

PTG bukan sekadar bertahan hidup, melainkan membentuk ulang cara pandang terhadap diri, orang lain, dan kehidupan secara keseluruhan. Tedeschi dan Calhoun mengidentifikasi lima dimensi utama dalam Post-Traumatic Growth (PTG). 

Dalam konteks kehilangan cinta pertama, kelima dimensi ini dapat muncul secara bertahap:

1. Apresiasi terhadap hidup

Setelah kehilangan, kita mulai melihat keindahan dalam hal-hal kecil yang sebelumnya terabaikan. Secangkir teh hangat, langit sore, atau tawa yang tulus menjadi momen yang dihargai sepenuhnya. Hidup tak lagi dianggap biasa, melainkan sebagai sesuatu yang rapuh dan berharga.

2. Relasi yang lebih dalam

Ada dorongan untuk lebih terbuka, lebih mendengarkan, dan lebih menghargai kehadiran orang lain. Hubungan yang dulunya dangkal bisa menjadi lebih bermakna karena kita tahu, kehilangan bisa datang kapan saja.

3. Kekuatan pribadi

Di titik paling rapuh, kita menemukan bahwa mampu bertahan, Meskipun dunia terasa runtuh, ada kekuatan batin yang muncul dari dalam. Kekuatan ini bukan hasil dari menghindari rasa sakit, tetapi dari keberanian untuk menatapnya dan tetap melangkah.

4. Perubahan spiritual atau eksistensial

Kehilangan sering kali memicu pertanyaan mendalam tentang makna hidup. “Untuk apa aku hidup?” menjadi refleksi yang nyata. Individu mulai mencari arah baru, nilai baru, dan tujuan yang lebih dalam. Dalam proses ini, spiritualitas atau pemahaman eksistensial bisa berkembang—baik melalui agama, filsafat, atau pengalaman batin yang personal.

5. Kemungkinan baru 

Ketika hidup terasa hancur, kita dipaksa untuk membangun ulang. Dan dalam proses membangun ulang itu, muncul keberanian untuk mencoba hal-hal baru. Individu mulai membuka diri terhadap peluang yang sebelumnya tak terpikirkan-menulis, berbicara, belajar, atau bahkan mencintai kembali. Karena kita tahu, hidup terlalu singkat untuk ditunda.

Harapan yang di sulam dari kenangan

Menemukan harapan bukan berarti menutup luka, Harapan bukan tentang melupakan, tetapi tentang berani menatap luka itu dengan jujur. Membiarkannya berbicara, mengizinkan hadir dalam ruang batin, dan perlahan menjadikan bagian dari kekuatan kita. Luka yang dulu terasa membelah, kini menjadi bagian dari narasi hidup yang lebih utuh. Dalam proses ini, kita menulis ulang cerita tentang diri kita.

Bukan sebagai korban dari kehilangan, tetapi sebagai seseorang yang bertumbuh. Kita bukan lagi sosok yang hancur, melainkan individu yang belajar berdiri kembali, meski dengan langkah yang gemetar. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved