Opini Dosen Unika Ruteng

Keniscayaan Bahasa Indonesia

Kesadaran ini perlu kita pertahankan dan bentengi dengan strategi dan siasat positif untuk membingkai dunia dengan memajukan Bahasa Indonesia

Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/HO-UNIKA RUTENG
Bernardus Tube Beding, Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng 

Bahasa Indonesia lebih terbuka terbuka. Ia mau dan mampu mengakomodasi kata, istilah, idiom dari bahas lain (baik bahasa daerah maupun bahasa asing) untuk mengembangkan dirinya secara lebih luas. Fungsi Bahasa Indonesia secara eksternal teleh menunjukkan perkembangan menggembirakan. Sejakj masa Orde Baru, Bahasa Indonesia diusulkan menjadi salah satu bahasa resmi PBB. Harapan itu terkabul ketika Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) secara resmi menetapkan Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa resmi digunakan dalam Sidang Umum UNESCO 2024, 20 November 2025. Ini bukti pengakuan dunia terhadap peran Bahasa Indonesia. Rasa ketertarikan bangsa lain menggunakan Bahasa Indonesia semakin besar. 

 

Ada Pasang Surutnya

Kedudukan Bahasa Indonesia juga mendapat tantangan universal. Masalah politik mengakibatkan hubungan bangsa Indonesia dengan bangsa lain terganggu, seperti masalah perbatasan, penyiksaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), lingkungan hidup, dan sebagainya. 

Masalah ekonomi juga menjadi penyebab pasang-surutnya ketertarikan bangsa lain untuk mempelajari Bahasa Indonesia. Ketika perkembangan ekonomi Indonesia membaik, banyak negara ingin berinvestasi di Indonesia sehingga memerlukan Bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi agar dapat melakukan transaksi bisnis. Pada saat itu (di zaman orde baru) minat belajar Bahasa Indonesia oleh bangsa asing meningkat pesat. 

Masalah keamanan di Indonesia juga menjadi faktor penting mengapa bangsa asing tidak tertarik mempelajari Bahasa Indonesia. Banyaknya terorisme di Indonesia dan mengancam keselamatan bangsa lain mengakibatkan munculnya larangan bangsa asing terhadap warga negaranya mengunjungi Indonesia. Dengan demikian, bangsa llain yang ingin mempelajari Bahasa Indonesia pun menjadi sangat berkurang. Untungnya pemerintah Indonesia bertindak cepat dan serius untuk menumpas terorisme. Teroris yang belum tertangkap terus diburu sampai mana pun. Bahkan, ketika orang hampir lupa masalah teroris, Densus 88 bekerja sama dengan TNI terus memburu dan menumpas teroris. Dengan kesungguhan usaha itu, bangsa lain tidak lagi ketakutan untuk datang ke Indonesia baik sebagai turis maupun sebagai mahasiswa yang ingin mempelajari Bahasa Indonesia. 

Masalah kebudayaan pun menyebabkan rasa ketertarikan bangsa asing mempelajari Bahasa Indonesia. Banyak bangsa asing tertarik dengan kekhasan budaya Indonesia yang tersebar di berbagai etnis. Jawa memiliki kekhasan batik, seni tari, gamelang, batik, bahasa Jawa. Bali memiliki kekhasan upacara ngaben, tari-tarian. Tanah Toraja memiliki kekhasan tradisi pemakaman. NTT tak ketinggalan menjadi tujuan orang-orang asing, baik sebagai wisatawan maupun sebagai pelajar dan peneliti. NTT memiliki kekhasan budaya nanyian-nyanyian adat, tari-tarian, ritual-ritual tradisional, dan berbagai macam obyek wisata. Hal-hal seperti inilah dirindukan bangsa-bangsa asing yang sudah mulai jenuh dengan globaliisasi dan modernisme. 

Namun, kita yang meenyandang predikat sebagai orang-orang berbudaya dan kuat memegang tradisi justru lalai dalam melestarikan dengan baik budaya yang sudah diwariskan oleh para leluhur. Kita justru terkagum-kagum dengan budaya barat, bahkan dininabobokan oleh globalisasi dan modernisasi sehingga warisan para leluhur dimodivikasi, dikonstruksikan, bahkan didekonstruksikan menjadi baru membuat hilangnya tradisi dan budaya lokal. 

 

Membangun Komitmen 

Segala persoalan dipandang sebagai pasang surut dapat perlu mendapat komitmen sungguh untuk mengatasinya. Proses merealisasikan pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan masyarakat, membina dan mendorong orang banyak menulis dalam bahasa Indonesia merupakan langkah tepat. Pengembangan dan pengajaran Bahasa Indonesia bagi penutur Asing (BIPA) merupakan keniscayaan yang harus ditanggap serius oleh lembaga pendidikan tinggi. 

Kita belum maksimal memelihara minat itu agar terus bertumbuh. Seakan-akan kita yakin bahasa Indonesia begitu hebat dan kaya isinya sehingga akan selalu menarik minat orang asing untuk mempelajarinya. Kita tidak memiliki kemauan kuat karena kita sendiri tidak memiliki kesadaran akan arti kebudayaan, kesenian, bahasa dan sastra bagi Indonesia. Kita malah suam-suam kuku menghadapi realitas dan minat orang luar terhadap bahasa Indonesia, bersikap pasif dengan menyerahkan seluruh inisiatif dan langkah (serta biaya) kepada pihak asing.

Sebagai bangsa yang beragam budaya dan menjunjung bahasa Indonesia, kita perlu menunjukkan sikap pemertahanan kebudayaan, tradisi, kesenian dan bahasa. Motivasi ini perlu dipertahankan, bahkan kita tingkatkan untuk menarik perhatian negara-negara lain sehingga pada akhirnya bahasa kita tidak terus tinggal dalam realitas antara harapan dan kenyataan sebagai bahasa yang terus memikat dunia.

Para ahli harus terus berusaha agar Bahasa Indonesia semakin berkembang dan memikat bangsa-bangsa di dunia. Ahli bahasa harus ambil bagian agar hubungan antarbangsa semakin erat. Kegiatan Kongres Bahasa Indonesia menjadi salah satu strategi memperkuat Bahasa Indonesia; tidak hanya posisi Bahasa Indonesia di dalam negeri, tetapi juga dalam percaturan dunia (bdk. Kompas, 29 Oktober 2013:12). Sangat disayangkan jika realitas menampilkan anak-anak usia sekolah lebih menguasai bahasa asing dibandingkan bahasa Indonesia. 

Semangat kecintaan terhadap Bahasa Indonesia perlu dikobarkan; juga kompetensi akademik para pendidik menjadi prioritas dalam menggalakan dan memajukan pendidikan. Pendidikan Bahasa Indonesia mendapat prioritas pada setiap lembaga pendidikan membantu segala persoalan dan kecemasan tertepis secara perlahan-lahan. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved