Berita Ende

Tak Pupus Asaku oleh Arus Sungai, Kisah Anak Pedalaman Ende Bertaruh Nyawa demi Cita-cita

Beruntung, di sepanjang bantaran Sungai Lowolaka, banyak permukiman warga, sehingga warga yang terseret biasanya cepat tertolong.

Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM/ORIS GOTI
GENDONG - Warga, guru dan pelajar saat melintas sungai Lowolaka di Desa Fataatu Timur, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Oris Goti

TRIBUNFLORES.COM, ENDE - Kaki - kaki mungil murid Sekolah Dasar Inpres (SDI) Niosanggo sedang melawan derasnya arus sungai Lowolaka. Seragam merah putih pun mulai basah.

Anak - anak itu, masih bisa tertawa. Satu tangan menjinjing sepatu, satu tangan lagi saling berpegangan, jaga keseimbangan. Mereka tersenyum lega ketika berhasil menginjak bibir sungai.

Perjuangan mereka belum usai. Butuh ribuan langkah kecil lagi untuk bisa sampai dan belajar di sekolah. Jarak sekolah dari bibir Sungai Lowolaka kurang lebih 2 Kilometer.

Namun, daya manusia ada batasnya. Lelah berjuang melintasi sungai Lowolaka yang lebarnya mencapai 90 Kilometer, membuat mereka susah konsentrasi belajar.

Baca juga: Ketua Prodi Gizi Poltekkes Kemenkes Kupang; Perlu Mitigasi di Posyandu Atasi Stunting di NTT

 

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) baru berlangsung kurang lebih 30 menit, mata anak - anak mulai tampak sayu. Setelah berjuang melawan arus sungai, kini mereka berjuang melawan kantuk.

Bau pising kotoran ternak menyengat hidung. Lalat merayap tenang pada bulir - bulir kotoran kambing yang berseliweran di lantai kelas.

Yah, sudah seminggu kelas itu ditinggal kosong, sekolah diliburkan, karena sungai Lowolaka, meluap. Kambing pun leluasa masuk keluar kelas dan halaman sekolah.

GENDONG - Warga gendong anak saat lintas Sungai Lowolaka di Desa Fataatu Timur, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Februari 2022.
GENDONG - Warga gendong anak saat lintas Sungai Lowolaka di Desa Fataatu Timur, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Februari 2022. (TRIBUNFLORES.COM/ORIS GOTI)

'Meliburkan diri' adalah pilihan paling tepat'. Ini sudah jadi kesepakatan orangtua dan guru, setiap kali sungai Lowolaka meluap, KBM di sekolah ditiadakan, karena nyawa memang lebih berharga.

"Saya sebagai kepala sekolah tentu menjadi orang yang paling bertanggung jawab kalau paksa anak - anak harus ke sekolah saat banjir," kata Felix Ve, Kepala SDI Niosanggo.

Felix juga mengeluhkan minimnya infrastruktur sekolah dan tenaga pengajar. SDI Niosanggo memiliki 107 murid. Meraka dididik oleh tujuh orang guru, tiga berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk kepala sekolah, sisanya Guru Tidak Tetap (GTT).

Baca juga: Pelajar di Pedalaman Ende Menantang Sungai Demi Cita-cita: Pak Jokowi Tolong Kami

Sementara itu gedung sekolah reot, banyak sisi yang rusak. Pantas saja kambing leluasa keluar masuk. "Saya prihatin dengan sekolah ini, guru juga sedikit, sementara saya tidak lama lagi pensiun. Apapun itu kami harus tetap semangat," ungkapnya.

Selanjutnya, untuk melengkapi jam pelajaran, akibat KBM sering diliburkan, pihak sekolah harus menambah jam pelajaran. Ketika cuaca membaik, Murid dan guru terpaksa menjalankan aktivitas KBM dari pagi hingga sore hari.

Kepala Desa Fatuata Timur, Ishak Abel Do, peduli dengan para murid. Ishak menerapkan program Gong Belajar, dimana setiap petang Senin - Jumat para siswa SD dan SMP belajar kelompok ditemani orangtua atau guru. Program ini dijalankan agar belajar bisa dirasa menyenangkan.

Halaman
1234
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved