Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Veronika Aja : Uang Restitusi Untuk Anak

Veronika Aja, dari Kelompok Kerja (Pojka) Menentang Perdagangan Manusia (MPM) yang mendampingi MSW dalam kasus ini

Penulis: Laus Markus Goti | Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/ORIS GOTI
Kajari Ngada, Yoni Pristiawan Artanto, didampingi Kasipidum Arief Wahyudi dan Wakil Ketua LPSK, Antonius PS Wibowo menunjukan bukti rekening koran transfer restitusi dari pelaku kepada Maria Susanti Wangkeng atau Santi di Kantor Kejari Ngada, Kamis 1 Februari 2024. 

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Oris Goti

TRIBUNFLORES.COM, BAJAWA-Veronika Aja, dari Kelompok Kerja (Pojka) Menentang Perdagangan Manusia (MPM) yang mendampingi MSW dalam kasus ini mengatakan, pihaknya bersama Maria Susanti Wangkeng telah mendiskusikan penggunaan uang restitusi.

Dia katakan, uang tersebut akan ditabung atau diinvestasikan untuk membiayai pendidikan anak dari MSW. MSW, kata Veronika saat ini telah berkeluarga dan memiliki seorang anak.

"Kalau untuk usaha produktif. Kita akan bantu lewat jalur lain. Intinya kita tetap mendorong mereka untuk punya usaha produktif," ujar Veronika.

Veronika mengukapkan dirinya dan Pokja MPM merasa sangat bahagia dan terharu. Perjuangan mereka mendampingi MSW selama kurang lebih enam tahun akhirnya membuahkan hasil yang adil.

 

 

Baca juga: Kisah Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di NTT Enam Tahun Menanti Keadilan

Dia katakan kasus MSW menjadi pembelajaran penting bagi yang lain yang ingin bekerja di luar daerah maupun luar negeri. "Paling penting itu adalah bagaimana prosesnya. Kita harus bagaimana jalurnya dan harus resmi sehingga kita dilindungi," ujar Varonika.

Pelaku Komit Lunasi Restitusi

Atas seijin Agung Wibowo, Kepala Rutan Bajawa, wartawan bisa mewawancarai salah satu pelaku TPPO, Eustakius Rela di Rutan Bajawa. Mantan anggota DPRD Kabupaten Ende itu menyambut ramah kehadiran wartawan.

Setelah basa - basi sejenak, wartawan menceritakan bahwa MSW telah menerima restitusi yang transfer oleh keluarganya senilai Rp. 15.000.000. Eustakius menyimak dengan saksama.

Menurut Eustakius, sebenarnya keluarganya telah menyiapkan uang senilai Rp. 47.700.000 untuk diserahkan saat sidang putusan. Namun karena penyerahan ditunda dan uang itu kemudian dipergunakan oleh istri untuk membiayai kebutuhan keluarga dan membiayai kuliah anaknya.

Eustakius merasa belum cukup lega, karena tanggung jawabnya belum sepenuhnya ia penuhi. "Pada dasarnya saya tetap berkomitmen untuk bertanggungjawab. Itu komitmen saya," kata Eustakius.

 

 

Baca juga: Delapan Rumah di Asrama Brimob Polda NTT Terbakar Jumat Pagi 

 

 

 

"Sebetulnya suatu pertanyaan apa sih yang saya buat selama hidup? Inilah jalan hidup saya. Saya sebagai warga negara berusaha untuk taat hukum. Dan, sebagai orang beriman, mungkin inilah yang bisa saya lakukan untuk sesama saya," imbuhnya.


Cerita MSW

Didampingi, Veronika Aja, usai penyerahan restitusi, MSW, menceritakan kisahnya. Kata Veronika kepada wartawan, Maria Susanti Wangkeng memang perlu didampingi karena kurang lancar berbahasa Indonesia.

Pada Juli 2015 silam, MSW dengan berat hati pergi meninggalkan kampung halamannya, Kampung Nila. Santi mengaku ia didesak pergi ke Ende bersama Eustakius Rela oleh Stanis Mamis sanak keluarganya sendiri.

MSW yang kala itu masih di bawah umur (17 tahun) tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunda Santi, Hermina Toyo pun hanya menangis melihat putrinya pergi dibonceng Eus dengan sepeda motor. "Waktu itu mama lihat saya, mama hanya menangis," kenang Santi.

Dalam keluarga, MSW adalah anak kedua dari lima bersaudara. Ibunya berjuang sendiri memenuhi kebutuhan keluarga, sebab ayah Santi telah meninggal dunia.

 

 

Baca juga: 315 Kotak Suara Dikirim ke Kepulauan di Kabupaten Sikka

 

 

 

 

Eustakius dan Stanis Mamis sebelumnya sudah melakukan pendekatan dengan ibunda Santi. Mereka membujuk Hermina agar Santi bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, dengan gaji Rp. 1.500.000 per bulan. Hermina yang sedang dililit persoalan ekonomi pun menyetujui.

MSW kala itu pergi hanya membawa sebuah kresek berisi dua helai baju miliknya. "Om Eus (sapaan akrab Eustakius Rela) waktu itu bilang sampai di Ende baru dia (Eus) yang beli baju. Tapi sudah di Ende juga, dia tidak beli," tuturnya.

Di Ende, Santi disuruh tinggal sebuah kos - kossan bersama dengan beberapa tenaga kerja lainnya. Santi lupa berapa orang. Setelah dua malam tinggal di kos - kossan mereka kemudian diberangkatkan ke Jakarta dengan KM Awu melalui Pelabuhan Ende.

Tiba di Jakarta MSW cs tinggal di sebuah kos - kossan, milik Eustakius Rela selama dua minggu sebelum satu per satu di antar ke rumah majikan. Dalam rentang waktu 2015- hingga September 2017, Santi bekerja pada tiga majikan berbeda sebagai pembantu rumah tangga tanpa digaji.

MSW kabur dari rumah majikan pada September 2017. "Saya kabur karena majikan marah. Waktu itu saya lari (kabur) dalam kondisi lapar dan tidak bawa pakaian. Saya lari saja tidak tau kemana," ujar Santi.

Santi yang dalam kondisi lapar dan tak tau arah, terjaring razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Santi dikira gelandangan. Santi lalu dibawa ke penampungan orang dengan gangguan jiwa dan tinggal di sana selama dua bulan. Selanjutnya Santi dibawa ke Dinas Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta.

Sementara itu di Nagekeo, Veronika Aja di sela - sela kesibukannya mengerjakan tesis kuliah, tidak sengaja menemukan sebuah postingan di facebook yang menerangkan bahwa Santi sedang ditampung di Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta.

Veronika Aja yang juga terlibat dalam Kelompok Kerja (Pokja) Menentang Perdagangan Manusia (MPM) langsung berkoordinasi dengan rekan - rekannya berupaya memulangkan Santi ke Nagekeo.

Dari Dinas Sosial, Pokja MPM membawa MSW ke Susteran Gembala Baik di Jakarta untuk rehabilitasi selama tiga minggu. Selanjutnya pada Januari 2018 Pokja membawa pulang Santi ke Nagekeo.

Tak berhenti di situ, Pojka MPM kemudian membuat laporan kepada Polres Ngada atas dugaan Tindak Pidana Perdangaan Orang (TPPO) terhadap MSW. Kala itu Polres Nagekeo belum terbentuk.

Proses kasus ini di tangan Polisi memakan waktu yang cukup lama, kurang lebih enam tahun. Kasus ini baru menemui titik terang, yakni memasuki tahap II pada 26 Juli 2023, dimana Polres Ngada menyerahkan dua tersangka dan barang bukti kepada pihak Kejari Ngada.

Dua tersangka tersebut tidak lain adalah Eustakius Rela dan Stanis Mamis. Menilik catatan pemberitaan Pos Kupang, Kapolres Ngada, AKBP Padmo Arianto saat Jumpa Pers terkait naiknya kasus ini ke tahap II, menerangkan Eustakius Rela berperan sebagai penampung, sementara Stanis Mamis sebagai perekrut.

Mengenai lamanya penanganan kasus ini AKBP Padmo Arianto menyebut, Polres Ngada baru mulai fokus menangani kasus ini pada 2020 dengan alasan pada 2018 saat kasus itu bergulir di Polres Ngada, sedang berproses pembentukan Polres Nagekeo yang sebelumnya masuk Wilayah Hukum Polres Ngada.

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

 

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved