Opini Hari Komunikasi Sedunia

MANUSIA DI TENGAH PUSARAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI

Banyak contoh yang dapat kita sebutkan ketika manusia berhadapan denganteknologi komunikasi sebagai alat dan ketika teknologi komunikasi itu

Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/HO-FERRY
Dr. Jonas K. G. D. Gobang, S. Fil., M.A, DOSEN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS NUSA NIPA 

Ambiguitas Teknologis

            Berbicara tentang arus kemajuan teknologi komunikasi, kita tentu akan mengacu kepada pandangan dari berbagai ahli yang secara sadar ingin mengupas tentang sejauh mana pengaruh teknologi itu bagi manusia. Tentu saja ada banyak perspektif yang boleh disimak dari aneka konsep dan pendapat serta teori tentang komunikasi. Namun penulis ingin mengungkapkan bahwa dari sekian pandangan yang ada, secara common sense, penulis melihat adanya ambiguitas teknologis, artinya di satu sisi teknologi itu sebagai hasil cipta atau karsa manusia dan berguna bagi manusia, namun di sisi lain teknologi itu sebagai satu entitas (alter human) yang mampu mengirasionalkan manusia.

            Tulisan ini sesungguhnya ingin merefleksikan sejauh mana manusia memposisikan dirinya atau bagaimana posisi yang tepat bagi manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi agar ia tidak terjebak dan terjerumus dalam dua tegangan dari ambiguitas teknologis tersebut. Sebab pada dasarnya manusia harus tahu posisinya yang jelas berhadapan dengan berbagai kemajuan dunia di antaranya kemajuan teknologi komunikasi. Karena secara filosofis, manusia akan mengalami “penderitaan” jika teralienasi oleh ambiguitas teknologis. Manusia seolah terus berjalan sambil “mengangkangi dua dunia”. Manusia secara etis-humanis harus mampu memilih yang terbaik bagi dirinya dan keturunannya. Untuk melengkapi refleksi atas diri manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi ini, kita sejenak melihat pendapat beberapa ahli yang secara metodis akademis telah membuat studi ilmiah perihal media dan teknologi komunikasi.

            Sandra Ball Rokeach dan  Melvin DeFleur misalnya menjelaskan pemanfaatan media sebagai alat dalam teori ketergantungan media (Media Dependency Theory). Menurut teori ini, orang menggunakan media dengan berbagai alasan. Media adalah alat yang dipakai untuk mendapatkan informasi, hiburan dan untuk membangun relasi sosial. Peran media menjadi sangat penting. Namun media tetap menjadi instrumen (alat) yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi, hiburan dan relasi sosial (Liliweri, 2002).

            Lain lagi dengan apa yang dijelaskan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass dalam Media Equation Theory (1996). Dalam teori tersebut mereka menjelaskan: “This theory predicts why people respond unconsciously and automatically to communication media as if it were human.” Teori ini memprediksikan bagaimana manusia pada suatu tahapan dalam membangun komunikasi akan secara tidak sadar dan spontan menganggap media seolah-olah sebagai manusia. Media bukan menjadi “alat” lagi tetapi seolah-olah menjadi seperti manusia (alter human). 

            Marshall McLuhan pada tahun 1962 atau tiga dekade sebelum Byron Reeves dan Clifford Nass, mencoba untuk menjelaskan hubungan manusia dengan media komunikasi melalui Technological Determinism Theory.  Teori ini menjelaskan bahwa ketika terjadi perkembangan sistem teknologi yang baru, masyarakat dan budayanya pun akan berubah atau beradaptasi untuk dapat memanfaatkan teknologi baru tersebut. Tentu saja teori ini tidak berlaku pada masyarakat dan budaya yang vested interest-nya tinggi. Namun bagi masyarakat yang sudah maju sekalipun, menurut  teori ini ketergantungan pada teknologi belum sampai membawa manusia pada irasionalitas. Masih ada kesadaran kritis pada manusia atau masyarakat untuk berubah atau beradaptasi dalam memanfaatkan teknologi baru.

            Pandangan filosofis tentang perkembangan teknologi juga datang dari Karl Marx dan Martin Heidegger. Marx menghubungkan teknologi sebagai bagian dari produksi material yang diberikan kepada masyarakat guna memajukan aktivitas individual sebagai satu model kehidupan (mode of life). Marx dengan tegas menghubungkan teknologi dan budaya, dan menunjukkan teknologi menjadi sentral dari aktivitas kapitalis modern. Sementara itu pandangan filosofis tentang teknologi dari Martin Heidegger memberi batasan pada perdebatan tentang teknologi dan praksis sosial dari kaum Marxist pada dua hal penting. Pertama, Heidegger berpendapat bahwa definisi dari teknologi perlu dibatasi dari asosiasi atau pandangan umum sebagai obyek-obyek fisik atau alat-alat kepada suatu pemahaman pada asosiasi sosial praksis atau sistem pengetahuan, atau techniques (teknik). Kedua, Heidegger menawarkan bahwa modernitas dapat ditemukan pada bagian ontologi dari teknologi  (Flew, 2005 : 28-29).

            Di tengah ketidakberdayaan manusia dan dominasi teknologi komunikasi yang kian dahsyat, kesadaran etis-kritis perlu digemakan oleh manusia terutama dari kalangan akademisi, agamawan, para kritikus, kaum humanis. Hal ini guna menjaga keseimbangan baik bagi manusia itu sendiri maupun bagi alter human yaitu alam, bumi dan segala isinya termasuk benda atau alat yang digunakan oleh manusia untuk terus hidup bersama ‘yang lain’ di dalam satu dunia yang sama.

            Berbagai pendapat yang sempat diangkat melalui refleksi ini tentu saja ingin memberikan kesadaran bahwa kita tidak pernah bisa menafikan adanya perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat dan semakin canggih. Sikap yang tepat adalah menjaga kesadaran dan meningkatkan kemampuan untuk memahami cara atau teknik penggunaan teknologi komunikasi yang baru secara baik, strategis dan efektif.

            Hal tersebut di atas dirasakan penting karena sering terjadi di dunia, juga di Indonesia bahwa teknologi komunikasi dalam menjalankan fungsinya untuk mentransmisi pesan kepada publik tak jarang terjebak dalam “manipulasi kebenaran”. Penipuan atau manipulasi teknologi komunikasi yang dimainkan baik dalam media cetak, media elektronik yaitu media penyiaran dan cybermedia juga dipengaruhi oleh sistem dan aktor (manusia) yang memiliki kepentingan baik politis, eknomis maupun kepentingan sosial (kelompok, agama, etnis). Manipulasi seperti ini oleh Jean Baudrillard disebutnya sebagai hiper-realitas (O’Donnel, 2009 : 45). Karena itu kesadaran etis-kritis tetap kita butuhkan[titik!]. Verba volant, scripta manent (kata-kata terbang menghilang, tulisan tinggal tetap).Mudah-mudahan ada gunanya!***

Berita TRIBUNFLORES.COM lainnya di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved