Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Dionisius Rebon
TRIBUNFLORES.COM, KEFAMENANU - Warga Desa Noebaun menggelar tradisi Koro Lele. Tradisi ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan menuju acara puncak kenduri arwah seorang anggota keluarga bangsawan yang meninggal dunia di Desa Noebaun Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tradisi Koro Lele akan berlangsung selama beberapa hari sebelum acara puncak kenduri. Koro Lele ini secara harafiah merupakan sebuah tradisi gotong-royong keluarga besar bangsawan yang meninggal dunia dibantu oleh masyarakat sekitar dan marga bangsawan lainnya menumbuk padi dengan disertai nyanyian syair dan pantun.
Di dalam pelaksanaan tradisi Koro Lele ini, kaum laki-laki dan perempuan duduk berhadapan sambil menumbuk padi pada lesung yang didesain dari kayu berukuran panjang sekira 10 meter dengan kedalaman sekitar 10-20 cm sambil bersahut-sahutan menyanyikan syair. Mereka mendaraskan nyanyian bersama pantun yang menyentuh kalbu.
Baca juga: Waspada Kasus Gigitan Anjing di TTS Capai 1.774 Kasus, di TTU 1 Orang Meninggal Karena Rabies
Saat diwawancarai, Seorang Tua Adat bernama Blasius Laot mengatakan, "Koro Lele" bersumber dari dua kata yakni "Koro" yang artinya memroses padi menjadi beras. Sedangkan "Lele" berarti nyanyian yang diselingi dengan pantun. Pantun ini selalu berkaitan dengan narasi yang mengangkat harkat dan martabat orang yang meninggal serta mengisahkan kebaikan selama almarhum hidup di dunia.
Ia menegaskan bahwa, Koro Lele merupakan tradisi yang lahir dari para leluhur di Noemuti sendiri dan bukan merupakan warisan para penjajah. Marga-marga yang menyelenggarakan Koro Lele selain Salem dan Da Costa selaku Raja, juga diselenggarakan oleh marga yang merupakan "Tobe" dari Salem dan Da Costa yakni Ninu, Laot, Tnone, Metkono.
Sebelum diselenggarakan upacara Koro Lele ini, keluarga besar dari almarhum (orang yang telah meninggal dunia) bersama tua-tua adat dari suku bangsawan di Noemuti hari untuk menyampaikan bahwa mereka sudah siap untuk menyelenggarakan kegiatan kenduri. Pasalnya, pasca seseorang tersebut meninggal dunia, tempat sirinya akan digantung pada salah satu tempat di lopo.
Tradisi Koro Lele ini telah mulai dilaksanakan sejak abad ke 16. Tradisi tersebut terus dihidupi hingga saat ini. Para leluhur di Noemuti, pada waktu itu telah memiliki pemikiran untuk melahirkan tradisi ini meskipun di bawah tekanan penjajah. Pasalnya pada waktu itu, pelaksanaan tradisi Koro Lele hanya dilaksanakan oleh marga tertentu (kaum bangsawan).
Setelah 40 hari seorang bangsawan meninggal dunia, dilaksanakan upacara kenduri bagi arwah almarhum yang meninggal dunia. Meskipun demikian, jangka waktu 40 hari ini tidak menjadi patokan karena tergantung kesiapan dari keluarga besar.
Koro Lele ini merupakan salah satu tradisi yang diselenggarakan sebelum digelar kegiatan kenduri arwah keluarga yang meninggal dunia yang mana momentum puncak kenduri ini akan dihadiri oleh banyak orang. Semua tamu yang hadir pada momentum hari puncak kenduri ini akan dijamu dengan berbagai hidangan yang sangat banyak.
"Karena mengumpulkan banyak orang maka kebutuhan beras harus banyak dan kebutuhan daging juga harus banyak," ucapnya, Kamis 9 November 2023.
Demi memenuhi kebutuhan beras bagi para tamu puncak perayaan Kenduri ini, maka diselenggarakan kegiatan Koro Lele tersebut. Sehari sebelum pelaksanaan kegiatan Koro Lele semua lala nakaf mencari tempat persinggahan (Laat) bagi rombongan yang akan dibawa karena biasanya rombongan yang dibawa oleh setiap lala nakaf tidak langsung menuju ke tempat Koro Lele. Tepat pada waktu yang ditentukan keluarga yang tersebar di sio noe haen dan sio noe naka serta para kepala suku mulai berdatangan. Setelah beristirahat sejenak di tempat persinggahan (laat) yang tidak jauh dari tempat berlangsungnya koro lele. Lala Nakaf bersama rombongan bergerak menuju ke tempat berlangsungnya Koro Lele langsung mengambil posisi pada palungan yang telah dipersiapkan.
Biasanya dua orang pemantun mengambil posisi pada ujung- ujung palungan sedangkan peserta Koro Lele memposisikan diri pada kedua sisi palungan yakni peserta perempuan dari satu sisi sebelah lesung sedangkan peserta pria pada sisi lainnya (Duduk berhadapan). Selanjutnya peserta yang telah mengambil posisi pada palungan tersebut dibagi menjadi dua kelompok dimaksudkan agar peserta Koro Lele dapat menyanyikan syair pantun dari kedua pemantun.
Lesung berukuran panjang ini diisi dengan padi atau jagung lalu peserta Koro Lele mulai menumbuk sambil bernyanyi. Pada tahap awal seluruh peserta melagukan syair angkarari secara bersama sama, dengan bunyi syair "Ankarari e e lele e ele angkarari ele le le le orimana rimana nona la". Syair ini dinyanyikan hingga beberapa kali sampai akord kemudian si pemantun pertama mulai memantunkan dengan syair "Tukam Tuk Himloinfaka Kalum Loim Bit Ete Au Ak Ite Au Ak Eke Hit Pae Oke" ( Sapaan kepada peserta koro lele bahwa para peserta mau atau tidak bila mau saya mau perpantun. Saya berpantun untuk kita semua).
Baca juga: Pengakuan Ibu ODGJ yang Disiksa 2 Oknum Polisi, Janji untuk Antar Obat tapi Tidak Pernah Antar