Berita Flores Timur

Simak Isi Memorandum Keadaan Fiskal NTT Saat Seminar para Kepala Daerah

Kebijakan Fiskal Nasional adalah cermin Ideologi Bangsa. Ia harus mengalir dari jiwa yang kuat untuk

|
Penulis: Paul Kabelen | Editor: Nofri Fuka
TRIBUNFLORES.COM/PAUL KABELEN
SEMINAR - Suasana seminar keadilan fiskal kepala daerah se-NTT di Larantuka, Flores Timur, Kamis, 6 November 2025. 

Hal demikian tidak boleh dianggap sepele, karena DAU adalah wahana ideologis untuk memastikan keadilan dan keberimbangan pembiayaan pembangunan sebagaimana amanat awal yang tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 1999.
 
Sehubungan dengan temuan DAU di atas dan fakta lain terkait Dana Perimbangan dan/atau Transfer ke Daerah (TKD), para kepala daerah se-NTT menyampaikan hal-hal sebagai berikut: 

Dana Alokasi Umum (DAU) sejatinya tetap diperlakukan sebagai alat ideologis untuk memastikan keadilan dan keberimbangan pengelolaan pembiayaan pembangunan daerah-daerah di Indonesia dalam bingkai NKRI.

Kabupaten-kabupaten se-NTT berhak mendapat porsi yang lebih proporsional dibanding kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi.

NTT adalah daerah dengan sumber DBH paling terbatas dibandingkan dengan daerah lain, masih terbatas dalam capaian PAD, dan tidak mendapat perhatian afirmatif berupa dana Otonomi Khusus. 

Dengan mempertimbangkan regulasi eksisting yang sedang dijadikan rujukan, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan penerapan regulasi tersebut yang sudah terlanjur menjadi fakta yang tercermin dalam proses penganggaran Tahun 2026, maka NTT berharap ada dana afirmasi keberimbangan fiskal sejumlah Rp 100 miliar per daerah di NTT pada Tahun 2026.

Untuk mengkompensasi fakta ketidakberimbangan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun selama ini, sambil menunggu adanya audit Kebijakan dan atau praktek kebijakan dan/atau penerjemahan kebijakan berbentuk formula-formula penghitungan yang menimbulkan adanya ketidakberimbangan tersebut. 

Mengusulkan agar dilakukan kaji ulang dan AUDIT secara serius atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah aerah yang telah mengubah secara mendasar filosofi dan prinsip-prinsip pengelolaan kebijakan transfer ke daerah, yang berkonsekuensi pada pengaturan alokasi Dana Bagi Hasil, DAU, dan DAK yang tidak lagi mengindahkan asas keadilan dan keberimbangan dalam bingkai NKRI.

Pengaturan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Penghasilan dan DBH Sumber Daya Alam (khususnya Mineral, Minyak Bumi, dan Gas Bumi) secara proporsional terlalu berpihak pada Daerah Penghasil sehingga menghasilkan kenyataan bahwa daerah-daerah penghasil sangat berkelimpahan DBH, sementara daerah-daerah bukan penghasil mendapat porsi yang terlalu kecil.

Pada saat yang sama, daerah-daerah penghasil masih mendapat porsi DAU yang sama, dan lebih miris lagi, terus mendapat kucuran bantuan pembangunan fisik Pemerintah Pusat melalui Dana yang dikuasai Kementerian. 

Dengan kelonggaran dan kapasitas fiskal yang ada, daerah-daerah dengan DBH tinggi cenderung memperlihatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi pula, sehingga menghasilkan kesenjangan yang makin lebar dalam kapasitas fiskal antara daerah dengan kelimpahan DBH dan daerah miskin DBH. 

Bahwa daerah-daerah dengan DBH dan PAD tinggi ini masih mendapat porsi DAU yang sama dengan daerah-daerah dengan kapasitas fiskal rendah seperti NTT, dan masih terus mendapat perhatian sangat besar dari Pemerintah Pusat untuk kebutuhan pembangunan fisik dan non fisik mereka. 

Sejalan dengan perubahan dalam filosofi dan prinsip, redefinisi dan reformulasi penghitungan DAU dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tengah menciptakan mala petaka besar bagi daerah-daerah dengan kapasitas fiskal rendah seperti NTT.

Penghilangan komponen Alokasi Dasar (yang dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan belanja pegawai) dalam penghitungan DAU menurut UU Nomor 1 Tahun 2022, telah membuat DAU secara total di Tahun 2026 hanya mampu menjawab kebutuhan belanja pegawai, apalagi belanja pegawai ini harus ditambah dengan belanja gaji P3K dan Tunjangan Peningkatan Penghasilan (TPP) sebagai kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.

Kondisi ini tentu sangat mengganggu kinerja pembangunan dan pelayanan-pelayanan di daerah-daerah kapasitas fiskal rendah karena hanya mengandalkan PAD dan DBH yang sangat terbatas.

Kondisi ini tentu juga tidak menyediakan modal yang cukup bagi daerah-daerah kapasitas fiskal rendah untuk mengambil langkah besar dalam peningkatan PAD, terutama di bawah Kepemimpinan Baru yang dihasilkan Pilkada serentak Tahun 2024 yang merencanakan langkah-langkah signifikan untuk peningkatan PAD. 

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved