Kasus Kekerasan di NTT

LBH APIK NTT Ungkap 300 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak, Mayoritas Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan di NTT itu fluktuatif, tapi rata-rata tiap tahun ada sekitar 90-an kasus. Itu artinya hampir setiap minggu

Editor: Gordy Donovan
POS-KUPANG.COM/YUAN LULAN 
BERI MATERI - Direktris LBH APIK NTT, Ansy D. Rihi Dara saat menjadi pemateri sesi kedua dalam Rapat Koordinasi TP PKK Provinsi NTT 2025 dengan tema Best Practice Peran LBH APIK dalam Advokasi Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di NTT, Jumat (29/8/2025). 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Yuan Lulan

TRIBUNFLORES.COM, KUPANG – Direktris LBH APIK NTT, Ansy D. Rihi Dara, mengungkapkan bahwa sejak berdiri pada tahun 2011, pihaknya telah menangani lebih dari 300 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Dari jumlah itu, kekerasan seksual terhadap anak menempati posisi tertinggi.

Hal ini disampaikan Ansy saat menjadi pemateri sesi kedua dalam Rapat Koordinasi TP PKK Provinsi NTT 2025 dengan tema Best Practice Peran LBH APIK dalam Advokasi Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di NTT.

“Kasus kekerasan di NTT itu fluktuatif, tapi rata-rata tiap tahun ada sekitar 90-an kasus. Itu artinya hampir setiap minggu ada dua kasus yang dilaporkan ke kami,” ungkap Ansy.

Baca juga: Para Saksi dalam Sidang Kasus Pelecehan Seksual Fajar Lukman Mulai Diperiksa di Pengadilan

 

Ia menegaskan, meningkatnya jumlah laporan bukan berarti program perlindungan gagal, melainkan menunjukkan keberanian perempuan untuk bersuara.

 “Dengan banyak regulasi dan dukungan lembaga, perempuan makin sadar haknya dan berani speak up. Ini artinya ada keberhasilan,” jelasnya.

LBH APIK, kata Ansy, tidak hanya memberikan pendampingan litigasi di pengadilan, tetapi juga non-litigasi, investigasi, hingga jemput bola ke desa-desa. Banyak kasus bahkan dilaporkan oleh kader dan paralegal PKK di lapangan.

Lebih jauh, ia menyoroti kasus-kasus ekstrem seperti femisida—pembunuhan perempuan dalam relasi rumah tangga—yang masih terjadi di NTT.

 “Ini bukan sekadar pembunuhan biasa, tapi akibat budaya patriarki yang menempatkan perempuan di posisi kelas dua,” tegasnya.(Uan)

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved